Keblinger

Keblinger

Vol 1 Edisi 8 - Ya Rasulullah, Terimalah Cinta Kami

Sabtu, 14 Juli 2012

Hari itu adalah subuh pertama kami di Masjid Rasulullah SAW, Masjid Nabawi di Madinah Al-Munawwaroh. Udara subuh di bulan Desember begitu menusuk tulang, hingga gigi geraham gemeretak menahan dinginnya angin utara. 

Namun semua itu tidak menyurutkan niat kami mendatangi masjid untuk sholat berjamaah. Dan yang lebih mengharukan, kami akan menghadap Rasulullah SAW, ziarah di makam Rasulullah SAW, manusia agung, insan pilihan pesuruh Allah, yang telah membawa kita dari kegelapan menuju cahaya: “min azh zhulumaati ilaa nuur…”. 

Ba’da Subuh dan wirid pagi, kami pun menuju makam Rasulullah SAW yang di sampingnya adalah Roudhah, tempat mustajabah untuk berdoa. Saat itu Roudhah sangat ramai sehingga kami memutuskan langsung menuju makam Rasulullah SAW. Subhanallah, ketika 10 meter lagi mencapai makam Rasulullah SAW, hati ini tak kuasa untuk menahan tangis, bahagia dan haru bercampur aduk hingga kamipun sesenggukan menangis. 

Ya, menangis. Semua yang berada di sana menangis, bahkan ada di antara jamaah yang berasal dari Pakistan atau India sampai meraung-raung sambil memeluk tiang masjid. Assalamu ‘alaika ya Rasulullah, Assalamu ‘alaika ya Nabiyallah, Assalamu ‘alaika ya habiballah. Ya Rasulullah, terimalah salam kami, terimalah cinta kami. Ya Nabiyallah. Cinta, itulah kata yang tepat yang menggambarkan suasana saat itu. Hanya kecintaanlah yang mendorong seseorang untuk rela berdesakan, melawan dinginnya cuaca, melawan kesombongan diri, melakukan perjalanan ribuan kilometer demi menziarahi Rasulullah SAW, sosok yang kita cintai. 

Kondisi ini sangat jauh berbeda jika dibandingkan di tanah air kita. Ada beberapa di antara kita yang begitu mencintai salah satu artis sinetron. Atau sebagian remaja kita yang begitu mengidolakan tokoh selebriti hingga rela mengorbankan potongan rambut, make up, dan model pakaian mereka demi meniru si tokoh yang dicintai tersebut. 

Masya Allah…! Sudah begitu jauhkah sosok Rasulullah SAW dalam keseharian hidup kita? Saya teringat bagaimana kecintaan para sahabat terhadap Rasullulah SAW yang tersurat rapi dalam lembar-lembar Sirah Nabawiyah yang pernah kita baca. Kita masih ingat kisah tentang bagaimana cinta Abu Bakar Ash-Shiddiq RA kepada Rasulullah SAW. Beliau mendampingi Rasulullah SAW berhijrah dan harus bersembunyi di Gua Tsur demi menghindari kejaran kaum musyrikin Quraisy. Beliau mengipasi Rasulullah SAW hingga tertidur dan merelakan dirinya masuk gua terlebih dulu hanya untuk memastikan tidak ada hewan berbahaya yang bisa menyakiti diri Rasulullah SAW. Beliau bahkan rela menahan suara dan sakit akibat kakinya digigit ular berbisa karena takut jika kekasih Allah itu terbangun. Subhanallah, semoga Allah merahmati Abu Bakar. 

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah SAW, menjelang masa akhir hayatnya, menawarkan qishash bagi siapa saja yang pernah merasa disakiti olehnya. Tiba-tiba ada salah seorang sahabat bernama Ukasyah bin Muhsin berdiri dan berkata, “Sungguh saya akan menuntut qishash ya Rasulullah, saya tidak tahu apakah engkau sengaja atau tidak, engkau pernah memecutkan cambuk dan mengenai bagian samping lambungku.” Rasullullah SAW pun memanggil Bilal untuk mengambilkan cambuk di rumah putri Rasul, Fatimah RA. Dan ketika Ukasyah telah menerima cambuk dari Bilal, dia kemudian mengurai perlahan cambuk di tangannya. 

Melihat itu Abubakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab berdiri dengan sorot mata yang menyala sambil berseru, “Hai Ukasyah! Kami sekarang ada di hadapanmu! Pukul dan qishash-lah kami berdua sepuasmu dan jangan sekali - kali engkau pukul Rasulullah SAW.” Namun Ukasyah tetap tak bergeming sambil memegang mantap cambuk di tangannya. Rasullullah SAW pun memerintahkan keduanya untuk duduk kembali. Lalu salah seorang sahabat lainnya ikut berdiri menantang Ukaysah. 

Dialah Ali bin Abi Thalib, salah satu sahabat dan kerabat yang sangat mencintai dan dicintai Rasulullah SAW. Ali berkata, “Hai Ukasyah! Aku ini sekarang masih hidup di hadapan Rasulullah SAW. Aku tidak sampai hati melihat engkau mengambil qishash memukul Rasulullah SAW. Inilah punggungku, cambuklah aku semaumu.” Namun Rasulullah dengan lembut meminta Ali untuk duduk dan mengatakan, “Allah SWT telah tahu kedudukanmu dan niatmu wahai Ali.” 

Belum lagi Ali duduk, puteranya, kakak beradik Hasan dan Husain juga berdiri. Kedua pemuda tampan ini juga tidak tega jika kakeknya harus menerima qishash dicambuk oleh Ukasyah. Namun kembali Rasullullah SAW sambil tersenyum lembut, berkata : “Duduklah kalian berdua, wahai penyejuk mataku.” Ukasyah pun tetap mantap bahkan meminta Rasulullah SAW membuka baju. Tanpa bicara Rasulullah SAW memenuhi permintaan itu dan perlahan membuka bajunya. 

Seketika, berteriaklah semua kaum muslimin yang hadir sambil menangis tatkala menyaksikan kulit tubuh Rasulullah SAW yang putih bersih itu akan menerima qishash cambukan dari Ukasyah. Namun, apa yang dilakukan Ukasyah? Sambil menangis tersedu - sedu dia merangkul dan menciumi kulit perut dan punggung Rasulullah SAW yang putih nan mulia sepuasnya sambil berseru, “Ya Rasulullah, tebusanmu adalah nyawaku. Siapakah yang sampai hati untuk mengambil qishash engkau, ya Rasulullah!” 

Sambil tersendat-sendat menahan sedu sedan, Ukasyah berkata, “Saya sengaja berbuat demikian karena berharap supaya tubuhku yang hina ini bisa menyentuh kulit tubuhmu yang mulia dan agar Allah SWT dengan kehormatan engkau dapat menjagaku dari sentuhan api neraka.” Subhanallah! Wahai Ibu, jika para sahabat begitu mencintai pribadi Rasulullah SAW yang begitu menawan, dan tak seorangpun yang tidak terpesona dengan keelokan paras, akhlak, serta tutur bahasanya, bahkan seorang musuh sekalipun, maka bagaimana dengan kita?

0 komentar:

Posting Komentar

 

salafudin. Diberdayakan oleh Blogger.


Copyright © Nurul Ilmi All Rights Reserved •