”Aku nggak mau masuk pesantren, Ibu…!”
Kata-kata ini, mungkin banyak kita dengar dari putra-putri kita di akhir tahun ajaran. Apa perasaan Ibu ketika mendengar kata-kata seperti itu? Sebagian yang saya dengar sih mengatakan : "Ah, ndak apa-apa. Itu kan pilihannya. Kenapa pula anak harus kita paksa." Atau, "Ndak apa-apa, yang penting kita tidak lengah mengajarkan agama.” Ada pula yang berdalih psikologis dengan mengatakan, "Kenapa harus pesantren? Kan anak seumur ini masih perlu kasih sayang?” Namun juga tidak sedikit yang sedih dan habis akal membujuk sang buah hati.
Ketidakseragaman tentang definisi 'pesantren' membuat makin banyaknya ragam jawaban. Untuk menemukan sebuah sikap tentang hal tersebut, sebagai permulaan ada baiknya kita berkenalan dengan lembaga yang namanya sudah amat akrab di telinga kita ini.
Apa Itu Pesantren?
Pondok pesantren di Indonesia mulai tercatat keberadaan dan perkembangannya pada abad ke-16. Sejarah pendidikan di Indonesia mencatat bahwa pondok pesantren adalah bentuk lembaga pendidikan pribumi tertua di Indonesia.
Dengan sistem pesantren, proses pemahaman agama Islam kepada santri berjalan penuh dengan pimpinan dan keteladanan kyai dan para ustadz. Melalui pengelolaan yang khas, tercipta satu komunikasi tersendiri, yang di dalamnya terdapat semua aspek kehidupan mulai dari pendidikan, ekonomi, budaya dan organisasi. Dari sini diharapkan terbentuk kepribadian Islam.
Memilih Sekolah
Tidak dipungkiri, semua orang bertekad memilihkan tempat terbaik bagi pendidikan putra-putri mereka. Memilih sekolah yang sesuai dengan visi dan misi kita seringkali jadi PR serius. Bicara tentang pendidikan, menyerahkan pada ahlinya adalah pemecahan bijak. Sebagai perumpamaan, keti-ka kita berbelanja, ada dua hal yang harus jadi bahan pertimbangan.
Pertama, apa saja barang yang kita butuhkan, dan kedua apakah fungsi barang yang kita beli sesuai dengan kebutuhan. Jangan sampai kita butuh beras, tetapi setelah melihat baju di pasar akhirnya kita malah memutuskan membeli baju. Walhasil, kebutuhan tidak tercukupi karena tidak sesuai fungsinya. Perumpamaan tersebut menjelaskan, jenis model atau paket pendidikan yang kita pilih, itulah yang harus kita seleksi sesuai kebutuhan dan fungsi.
Jangan lupa, Ibu adalah subjek dalam masalah ini meskipun pilihan sekolah sudah ditentukan. Adakalanya seorang Ibu merasa aman dan bisa berleha-leha bila anaknya sudah masuk sekolah favorit. ”Kan sekolahnya ok, gurunya pasti lebih ok dari saya,” begitu argumennya. Ada pula yang merasa aman dengan mengirim anak ke pesantren. ”Kan sudah boarding dan dapat do'a Pak Kyai, jadi sudah cukup.” Kita harus ingat, Ibu adalah pemegang kurikulum pribadi anak. Keterpaduan sistem ajar antara lembaga dan Ibu adalah kunci ke mana anak akan diberi warna. Bila Ibu kehilangan kendali, tentu akan ada bagian yang hilang dari anak kita.
Pendidikan Islam
Rasulullah SAW memberi teladan yang merupakan bukti nyata bahwa tujuan pendidikan adalah membentuk kepribadian Islam dan membekalinya dengan segala macam ilmu pengetahuan yang ada sangkut pautnya dengan kehidupan.
Oleh karena itu hendaknya sistem dan metode pendidikan harus mengikuti jalur yang dapat menyampaikan seseorang pada tujuan ini. Apapun model pendidikannya, asalkan mampu membentuk kepribadian Islam dan memberi modal pengetahuan yang layak, maka sistem itu dapat dipakai.
Dengan menengok sistem ajar di masa kekhilafahan (kekuasaan pemerintahan Islam dahulu) akan lebih mudah untuk memadupadankan antara pilihan sekolah yang ada dengan kebutuhan anak kita. Tentu tidak akan kita temukan sistem ideal yang mencetak ulama besar di jaman keemasan Islam tersebut. Tapi paling tidak, teladan tersebut dapat menjadi acuan pendidikan mana yang paling mendekati ideal. Setidaknya ada tiga hal yang penting menjadi acuan, yaitu asas kurikulum, proporsimata pelajaran, serta bahasa dan pendidikan.
Baca Buletin selengkapnya di: https://docs.google.com/open?id=0B9OI7a75UcEgS2prbVJ2SlItTkk
0 komentar:
Posting Komentar