Detik-detik bersejarah itu tidak pernah terlupakan ketika saya melangkah di pelataran Masjidil Haram di Makkah Al Mukarramah. Saya gemetaran. Sungguh. Dari mulut saya, hanya ucapan talbiyyah yang keluar berulang-ulang, “Labbaik allahumma labbaik… Ya Allah, aku penuhi panggilanMu.
Saat itulah untuk pertama kalinya saya melihat Kabah, Baitullah, yang berdiri kokoh menjulang. Bangunan yang ke arahnya Allah memerintahkan kaum muslimin menghadap ketika sholat. Pusaran manusia bertawaf mengitari bangunan itu sembari mengagungkan asmaNya. Mereka berasal dari berbagai suku bangsa. Tak peduli apa warna kulit mereka, tua-muda, miskin-kaya. Semua larut memujaNya. Benar-benar pemandangan yang tak bisa saya lukiskan keindahannya.
Puncaknya, saya hanya bisa menangis tersedu-sedu. Lebur semua kesombongan yang masih melekat dalam diri. Berada di antara puluhan ribu orang di sekitar Kabah membuat saya merasa tak ada apa-apanya. Begitu kecilnya. Hanya Allah Yang Maha Besar. “Ya Allah, Engkau Maha Kuasa. Tiada daya dan kekuatan kecuali dengan izinMu.
Alhamdulillah, Engkau sampaikan niatku untuk berkunjung ke rumahMu,” bisik saya sambil berlinang air mata di depan Multazam, di antara pintu Kabah dan Hajar Aswad, sesaat setelah menyelesaikan tawaf.
Selama di Tanah Suci, semua tempat yang saya datangi memberikan pencerahan tersendiri. Ketika wukuf di Arafah, siapa pun akan merinding melihat jutaan manusia berselimut ihram, putih-putih, memenuhi Padang Arafah menggumamkan doa kepada Rabb mereka dalam kekhusyukan. Atau di Muzdalifah, ketika para jamaah mabit (bermalam) hanya- beratapkan langit, menahan dinginnya malam, sebelum esok paginya bergerak ke Mina untuk melontar jumrah.
Berbekallah
Haji yang mabrur adalah ibadah yang paling utama setelah beriman kepada Allah dan RasulNya dan berjihad fi sabilillah. Untuk menunaikannya, seorang muslim harus memiliki kemampuan (istitho’ah) baik secara finansial, fisik, maupun mental. Allah berfirman dalam Al Quran:
“…Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepadaKu hai orang-orang yang berakal" (Al Quran Surat Al Baqarah : 197)
Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan sebab turunnya (asbabun nuzul) ayat di atas. Beliau menukil dari Ibnu Abbas RA, “Ada beberapa orang pergi haji dengan tidak membawa perbekalan seraya berucap, ‘Kami akan menunaikan haji ke Baitullah, apakah mungkin Allah tidak memberi makan kami?’ Maka Allah SWT menurunkan ayat tersebut, yang tafsirnya adalah: “Berbekallah kalian dengan sesuatu yang dapat menjaga kehormatan kalian dari manusia.” Allah SWT memerintahkan agar mereka berbekal materi untuk kebutuhan dalam perjalanannya dan tidak ridho kepada mereka yang berangkat tanpa bekal.
Saya teringat 11 bulan sebelumnya, saat saya dan istri duduk berdua dan membahas niat ke Baitullah ini. Kami ingin segera berangkat tetapi tabungan yang tersedia belum mencukupi. Kami pun mulai berhitung-hitung apa saja aset yang sebenarnya dapat dijual, hingga akhirnya dengan mantap memutuskan menjual sedan anyar kesayangan kami.
Waktu itu, tak ada keraguan secuil pun. Apalagi Nabi SAW pernah bersabda : “Perbelanjaan yang dikeluarkan oleh seseorang untuk memenuhi kebutuhannya waktu haji seperti perbelanjaan yang dikeluarkan dalam jihad, pahalanya tujuh ratus kali lipat” (hadits riwayat Ahmad, Thabrani, dan Baihaqi).
Allah juga berfirman dalam ayatnya: “..Apabila kamu telah berazam (bertekad), maka bertawakkallah kepada Allah.” (Al Quran Surat Ali Imran: 159).
Betul saja, Allah SWT membukakan rezeki dan pintu kemudahan pada kami lebar-lebar dari waktu ke waktu. Mobil sedan kami, misalnya, terjual dengan harga memuaskan hanya dalam hitungan jam setelah keputusan dibuat. Subhanallah. Kuota haji yang sebelum-nya masih dalam daftar tunggu, tiba-tiba kami peroleh dua bulan sebelum keberangkatan. Semua bekal finansial lebih dari cukup ketika saat keberangkatan tiba.
Baca Buletin selengkapnya di: https://docs.google.com/open?id=0B9OI7a75UcEgSnBpT283RmlLems
0 komentar:
Posting Komentar