"Aduh, sakit tau!", jerit seorang anak TK saat ia terinjak kaki kawannya yang sedang lewat. Dengan senyum seperti tanpa salah, anak yang menginjak tadi, yang juga teman sekolahnya itu berkata, ―Maaf ya, aku gak sengaja‖. Selanjutnya mereka bermain bersama lagi dan tertawa riang, seperti tidak pernah terjadi sesuatu apapun.
Peristiwa seperti di atas dalam kehidupan anak-anak kecil mudah dijumpai. Anak-anak sangat mudah memaafkan. Bukan hanya sekecil peristiwa kaki terinjak, bahkan seorang anak yang menangis keras karena suatu kesalahan anak lain, dengan cepat melupakan sakit hatinya dan tertawa kembali seolah tak pernah terjadi apa-apa. Mereka tidak pernah dendam dan menyimpan kebencian.
Lain halnya dengan orang dewasa. Kaum dewasa cenderung lebih rumit dalam menyelesaikan konflik. Dalam kehidupan orang dewasa seperti kita, begitu mudah ditemukan kasus konflik yang berujung amarah, kebencian, dendam bahkan kejahatan terhadap lawan. Bahkan, terkadang perasaan marah akibat kesalahan orang lain justru mengakibatkan sakit psikologis. Di rubrik kesehatan sebuah koran nasional, pernah diceritakan seorang perempuan yang mengalami depresi. Depresi ini diakibatkan trauma karena kesalahan yang dilakukan oleh orang lain pada dirinya. Setiap malam, dia sampai merasakan mimpi-mimpi buruk akibat perasaan marah yang dideritanya. Siksaan itu begitu pedihnya dia rasakan sampai dua tahun lamanya.
Rasa sakit hati akibat kesalahan orang lain, adalah sebuah sifat yang dapat dimaklumi. Ini adalah sunnatullah bahwa kesalahan orang lain pada seseorang tentu akan menyebabkan perasaan sakit hati, kecewa atau marah. Dalam Al-Qur‘an ada isyarat bagaimana para malaikat merasakan ―kekecewaaan‖ pada Allah. Mereka menilai, keputusan Allah untuk menjadikan khalifah dari seorang manusia Adam yang memiliki kemampuan menumpahkan darah dan menciptakan kerusakan dimuka bumi adalah sebuah keputusan yang ―tidak tepat‖. Kekecewaan para malaikat ini berujung ―protes‖. "Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat : "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata : "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Dia berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.‖ (QS. Al-Baqarah: 30).
Sahabat Abu Bakar Ashshiddiq RA juga pernah mengalami sakit hati. Abu Bakar bahkan bersumpah untuk menghentikan bantuan nafkah untuk keluarga Misthah bin Atsatsah karena fitnah yang dilontarkannya terhadap Aisyah —istri Rasulullah SAW yang juga putri Abu Bakar— pada peristiwa yang dikenal dengan sebutan haditsul ifki (berita dusta).
Rasulullah SAW pun banyak mendapatkan gangguan baik berupa ucapan ataupun perbuatan dalam dakwah Beliau mengajak umat manusia menyembah Allah SWT. Rasulullah SAW pernah dilempari kotoran binatang, diracuni makanannya, bahkan beberapa kali diancam upaya pembunuhan. Mengapa Kita Perlu Memaafkan? Kata maaf dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, persamaannya adalah ampun yang berarti pembebasan seseorang dari hukuman (tuntutan, denda dan sebagainya) karena suatu kesalahan. Sedang memaafkan berarti memberi ampun atas kesalahan, tidak menganggap salah atau dalam Thesaurus berarti mengampuni, menenggang, metoleransi.
Pertanyaannya, mengapa kita justru harus memaafkan orang lain yang telah menyakiti kita, yang menyebabkan kita berurai air mata atau bahkan mungkin yang menyebabkan kita terpisah dari keluarga dekat kita?
Baca Buletin selengkapnya di: https://docs.google.com/open?id=0B9OI7a75UcEgUzlBYlFBRG1sY0E
0 komentar:
Posting Komentar