“Jadi, kapan kamu pulang?” suara di ujung telepon masih menunggu jawaban. Saya terdiam untuk beberapa saat. “Bapak sering membicarakanmu, sepertinya kerinduan beliau saat ini hanya untuk kamu. Kamulah yang ditunggu-tunggu.” Kembali suara itu memenuhi telinga. Pendek jawab saya, “Insya Allah nanti malam ada kabar…”.
Bulan Ramadhan itu akhirnya saya pulang untuk menjenguk bapak di sebuah rumah sakit. Beliau berada di ruang yang sama saat dulu Ibu dirawat sebelum meninggalkan dunia. Dengan lantunan Al-Qur’an saya temani bapak menjalani masa sakitnya. Ketika keadaan bapak sudah terlihat membaik, saya kembali ke Bogor.
Seminggu berlalu dan saya berkutat dengan kuliah yang menyita banyak waktu karena banyaknya setoran hafalan. Hingga pagi itu, selepas menyapu halaman rumah depan, telepon berdering, “Bapak sepertinya dalam kondisi sangat payah. Cepatlah kalau mau pulang. Tapi jika tidak, tolong berdo’a untuk kemudahannya”. Bergegas saya mencari tiket pulang ke Kota Pahlawan. Namun, kehendak Allah lain. Bus Damri sedang berjalan menuju bandara ketika ponsel saya berbunyi dan kerabat mengabarkan bapak sudah menghadap Sang Pencipta tepat di minggu kedua bulan Ramadhan. Saya terdiam dan benar-benar tercenung di bandara, sambil menunggu waktu take off. Rupanya itu Ramadhan terakhir bapak. Baru seminggu lalu saya melihat wajah segar bapak, namun hari ini beliau menghadapNya di bulan yang mulia. Ya Allah, terimalah semua kebaikannya. Aamiin.
Semenjak itu, selalu ada bayangan bapak dan kepergiannya ketika Ramadhan tiba. Tidak ada yang tahu kapan jiwa berpisah dengan raga. Sang ajal datang tanpa permisi, tapi pasti datang. Apakah Ramadhan kali ini adalah giliran Ramadhan terakhir saya? Sudah semaksimal apakah ibadah Ramadhan saya? Berbagai tanya bermunculan dalam benak. Bagaimana jika ini adalah Ramadhan terakhir? Saatnya Melipatgandakan Ibadah.
Baca Buletin selengkapnya di: https://docs.google.com/open?id=0B9OI7a75UcEgUHV4cC0yY05FTWM
0 komentar:
Posting Komentar